Sejarah KPK (komisi pemberantasan korupsi)
Pertama kali di bentuk tahun 2003,
dengan maksud menaggulangi,mengatasi dan memberantas koupsi di
Indonesia. KPK didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 tahun 2002.
Untuk mengetahui lebih dalan terbentuknya KPK ini, maka kita harus melihat ke belakang,(sumber: Sejarah KPK, Wikipedia Indonesia).
Untuk mengetahui lebih dalan terbentuknya KPK ini, maka kita harus melihat ke belakang,(sumber: Sejarah KPK, Wikipedia Indonesia).
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali
dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat
aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).
Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasutiondan dibantu oleh dua orang
anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam
bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan
para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih
yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada
Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung
kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir
tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepadaKabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu olehWiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandriokemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan PresidenSoekarno menjadi ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu olehWiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandriokemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan PresidenSoekarno menjadi ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui
pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan
mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam
hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan
memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),
yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai
dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjukKomite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof
Johannes,I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas
utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top downdi kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.begitu……………
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top downdi kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.begitu……………
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan
korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan
baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara(KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(TGPTPK)
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah
semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga
KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[1]
KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember
2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol)
1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman
Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi
aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance”
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang
mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman
walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan
tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh “island of integrity” (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan “memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas”.
Taufiequrachman mengemukakan data hasil surveiTransparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu “Barometer Korupsi Global”, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina(8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu “corruption by needs” (korupsi karena kebutuhan), “corruption by greeds” (korupsi karena keserakahan) atau “corruption by opportunities” (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
Dan sekarang anda tahu sendiri Antasari Azhar berada ditahanan dalam kasus pembunuhan.
Bagaimana nasib KPK selanjutnya? Mungkin anda dan Saya mempunyai harapan yang sama “terus maju” demi rakyat Indonesia yang saya cintai ini.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh “island of integrity” (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan “memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas”.
Taufiequrachman mengemukakan data hasil surveiTransparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu “Barometer Korupsi Global”, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina(8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu “corruption by needs” (korupsi karena kebutuhan), “corruption by greeds” (korupsi karena keserakahan) atau “corruption by opportunities” (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
Dan sekarang anda tahu sendiri Antasari Azhar berada ditahanan dalam kasus pembunuhan.
Bagaimana nasib KPK selanjutnya? Mungkin anda dan Saya mempunyai harapan yang sama “terus maju” demi rakyat Indonesia yang saya cintai ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar